[Busaku] Review Di Tanah Lada

“Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang (di masa anak-anak) kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut.” - hlm. 197

Assalamu'alaikum minna-san, akhirnya bisa nulis lagi di blog ini setelah sebulan lebih lamanya nggak ngelakuin apapun untuk blog ini. Yah, mau bagaimana lagi, kemalasanku tiba-tiba menggeliat kuat untuk beberapa bulan terakhir karena saat ini aku sedang di semester akhir perkuliahanku dan juga kondisi tubuhku yang kadang naik-turun sehingga membuatku lebih memilih untuk fokus pada perkuliahan, pertemananan dan istirahat (anjay wkwk). Yop, kali ini aku aku pengen nge-review buku yang mungkin merupakan salah satu buku terbaik yang pernah kubaca sejauh ini, per tanggal 23 Juni 2024 dan aku ingin membagikan reading experience yang aku rasakan ketika membaca buku ini.

Baiklah, kurasa nggak berbasa-basi lagi, oh ya, review ini non spoiler, so insyaallah aman buat kalian yang belum baca bukunya. Juga karena aku sudah terlalu lama nggak menulis di blog ini, mohon maaf kalau tulisanku terkesan kaku dibandingkan dengan postingan-postinganku sebelumnya. Kelamaan nulis skripsi sepertinya membuat kemampuan menulisku agak menumpul dan terkesan sangat-sangat formal sekali wkwkwk, tapi ya sudahlah, I will bring it back ðŸ˜Ž.


Source by Goodreads


Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerjemah: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224 Halaman
Tahun Terbit: 19 Oktober 2015
ISBN : 9786020318967

Buku ini menceritakan kisah seorang gadis kecil berusia enam tahun bernama Salva yang tinggal bersama kedua ayah dan ibunya. Ia sering dipanggil sebagai Ava. Namun, ayahnya yang kampret, biadab nan buadjingan ini sering memanggilnya Saliva karena dianggap nggak berguna. Pada suatu hari, Ava dan keluarganya pindah ke Rusun Nero setelah kakeknya meninggal. Di sanalah dia bertemu dengan anak laki-laki bernama P (beneran cuman satu huruf wkwk) dan dari pertemuan itulah petualangan mereka berdua dimulai.

Jujur saja, buku ini salah satu buku yang paling lama ke delay pengen aku baca tapi gak kesampean terus, entah karena gak ada di Gramedia sini, duitnya habis buat beli buku-buku antologi puisi, lalu aku juga yang masih noob dalam transaksi jual-beli online atau selalu kehabisab stok bukunya di iPusnas (sekarang enak banget euy, 140-150 stok buku masih tersedia kadang. Syukurlah sekarang gak perlu rebutan dan antri lagi di iPusnas). Sampai pada suatu malam, entah kesambet angin apa, aku pun membuka aplikasi iPusnas dan melihat tersisa satu stok terakhir dari buku ini. Woh jelas, tanpa ba-bi-bu langsung aku sikat aja itu buku wkwkwk, udah diincer-incer karena aku sendiri penasaran dengan buku Ziggy yang lainnya. Jatuh cinta pertamaku dengan buku Ziggy adalah buku Semua Ikan Di Langit, yang kemudian membuatku penasaran, gimana sih rasa dan aroma buku Ziggy yang lainnya. 

Buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama dengan Ava sebagai tokoh sentralnya. Ini merupakan hal yang paling aku sukai ketika membaca buku ini, karena ini merupakan hal unik menurutku, kita diajak untuk melihat dunia dalam kacamata seorang anak kecil polos berusia enam tahun. Hal ini semakin unik ketika Ava mencoba menjelaskan sesuatu menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia hadiah dari kakeknya, membuatku semakin nyaman dalam menyelami bagaimana tokoh Ava melihat dunia di sekelilingnya.

Hingga pada suatu hari sang kakek ini wafat, sehingga Ayah Ava pun membawa dan anak istrinya pindah ke salah satu rusun di pinggiran kota Jakarta dengan niatan agar dekat dengan kasino biar bisa berfoya-foya dengan harta warisan. Di tengah kemelut kedua orang tua yang tak pernah akur. Muncullah satu lagi tokoh utama dalam buku ini yang menjadi role model kakak untuk Ava yang masih polos. Namanya P, seorang anak yang sering mengamen untuk menghidupi dirinya. Dari pertemuan inilah keduanya merajut sebuah kisah petualangan yang sukses membuatku kena mental di penghujung cerita wkwk.

“Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa.” - hlm. 92

Salah satu hal yang paling tidak aku expect dari buku ini adalah isinya, yang menceritakan tentang kekerasan pada anak. Dengan cover buku yang menurutku pribadi lumayan kawaii, ternyata isinya malah membawakan topik berat yang sungguh kowai. Membaca buku ini, melihat perlakuan ayah Ava terhadap anak dan istrinya membuatku sedikit merenung, aku yakin di luar sana pasti masih sangat banyak anak-anak yang tidak seberuntung aku atau kita (kalian para pembaca) memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab dengan keluarganya. Bahkan, yang paling miris ketika ayahnya sedari awal ingin memberi nama Ava dengan nama Saliva.  Alasannya karena Ava dianggap tidak berguna layaknya ludah. Seandainya aku adalah orang yang ada di rusun itu, mungkin tinjuku sudah melayang tepat di wajah bajingan satu ini wkwk. Orang gila mana yang memberi nama anak dengan saliva (ludah), padahal nama adalah doa. Untungnya ibunya orang baik-baik, memberikan nama Salva yang artinya penyelamat. Walaupun aku agak bingung juga, kenapa ibunya masih saja mau bertahan dengan bajingan satu ini.

Abaikan, cuman foto gabut ketika beli kerak telor, jujur aku kangen pengen fotografi-fotografi lagi

Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan buku ini. Membawakan sebuah topik atau tema yang berat dalam sebuah cerita di mana tokoh utama anak kecil sepertinya merupakan hal yang sulit sepertinya, pikirku. Dan yap, ternyata benar sekali, terkadang Ava dan P dimataku tidak terlihat seperti anak-anak, tapi malah terlihat seperti orang dewasa, dua orang dewasa yang memiliki traumanya masing-masing, memiliki skeptisnya masing-masing terhadap dunia. Hal ini makin diperkuat di bab-bab akhir buku ini yang menurutku sangat nggak logis saja seorang anak memiliki pemikiran dan pembicaraan seperti itu, walaupun anak itu banyak belajar kata-kata dari KBBI ataupun lingkungan sekitarnya, anak-anak tetaplah anak-anak, lugu dan polos pemikirannya. Walaupun nggak bisa kita pungkiri anak-anak belajar sangat cepat layaknya sebuah spons yang menyerap air.

Walaupun begitu, secara keseluruhan aku suka banget sama buku ini dan menurutuku buku ini selera aku banget yang suka bacaan yang berat tapi gak mau bacaan yang kaku banget (ini gimana konsepnya, akupun nggak tahu wkwk). Aku sangat-sangat merekomendasikan buku ini terutama bagi kalian yang ingin merasakan pengalaman dan sensasi baru. Mohon maaf jika ada salah kata, akhirul kata wassalamu'alaikum dan salam literasi.

"... semua hal terjadi karena suatu alasan. Ada alasan di balik semua kejadian. Jadi, dalam setiap tindakan juga seharusnya ada alasan. Mungkin saja, alasannya tidak kita ketahui, atau tidak kita sadari. Tapi, alasan itu ada." - hlm. 225


See you ^^

Comments

Yang Lagi Rame