Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
![]() |
Setiap catatan yang diambil dari tulisan dari Medium, di thumbnail-nya akan ada logo Medium |
Assalamu’alaikum minna-san, konnichiwa! Baiklah, sebelum kalian lanjut membaca tulisan ini aku ingin memberikan sedikit catatan dan informasi, bahwa tulisan ini sebenarnya sudah pernah diterbitkan lebih dahulu di platform Medium milikku. Jadi kalau kalian tidak merasa keberatan, yaaahh aku sangat berharap kalian membaca tulisan-tulisanku yang ada Medium juga hehe. Ah iya dan juga aku ingin mengingatkan kalau tulisan ini bukanlah bedah makna puisi yang mengupas seluruh hingga keping terakhir dari puisi, karena aku merasa aku belum memiliki kapasitas untuk hal itu dan juga aku selalu meyakini kalau makna sebuah puisi itu bersifat subjektif dan multitafsir, tergantung siapa pembacanya, bagaimana pembacanya/membacanya, kapan membacanya, di mana membacanya dan mengapa membacanya. Jadi ketika sebuah puisi terbang ke langit dunia, ia bukan lagi milik penciptanya. Namun, berpendar menjadi sebuah cermin pecah dan dipunggut setiap insan dunia untuk dimaknai oleh masing-masing orang yang membaca dengan kapasitas yang ada pada dirinya (yang jelas setiap orang berbeda-beda pemahaman dan penangkapannya).
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Sebelum kita menyibak lembaran cermin-cermin pecah tadi. Aku ingin berterima kasih dengan sepuh my girl yang sudah sangat-sangat membantu aku dalam memunggut kepingan-kepingan cermin pecah dalam hal teknis pada puisi ini yang sulit untuk kusulihbahasakan ke dalam bahasa lidahku sendiri, karena dalam membaca puisi aku lebih sering menyulihbahasakan kepingannya dalam rasa, emosi dan aura (tapi aku bukan anak indigo ye).
Baiklah, kurasa kita bisa mulai dengan memaknai objek-objek vital yang terdapat dalam puisi ini, seperti matahari, bayang-bayang, dan barat. Matahari di sini bermakna kehidupan, ketetapan, dan takdir. Matahari begitulah adanya; dia memancarkan sinarnya kepada kita tanpa pilih kasih, walau kadang sinarnya terhalang atau dihalangi sesuatu. Namun, pada akhirnya, dia akan terus ada menuntun dan menuntut kita untuk terus berjalan menggapai bayang-bayang dan menuju barat. Matahari memang tak dapat diterka tingkah dan kisahnya. Siapa yang membuatku bersedih, siapa yang membuatku menangis, siapa yang membuatku panas, siapa yang membuatku tertawa. Aku atau matahari? Tak pernah ada yang tahu pasti, kecuali dirimu sendiri yang merenungi dan memaknainya.
Lanjut ke kata bayang-bayang. Bayang-bayang di sini bermakna dunia. Sudah menjadi hukum alam, kalau kita hidup akan terus berdampingan dengan yang namanya dunia, bahkan sampai kita mati (secara harfiah), karena memang pada dasarnya hidup di dunia. Sudah menjadi hukum alam, di mana ada cahaya, di situ pula ada bayang-bayang. Di mana ada kehidupan, di situ ada dunia-dunia pula tercipta yang jumlahnya banyak dan bentuknya beragam. Jika benda itu kecil, bayang-bayang yang dihasilkan pun juga kecil, jika benda itu besar, bayang-bayang yang dihasilkan pun juga besar dan lebih indah (atau malah menakutkan).
Lanjut ke kata bayang-bayang. Bayang-bayang di sini bermakna dunia (bisa kalian pahami sebagai keinginan, mimpi atau ambisi). Sudah menjadi hukum alam, bahwa kita hidup akan terus berdampingan dengan dunia, bahkan sampai kita mati (secara harfiah), karena memang pada dasarnya kita tidak bisa hidup di dunia tanpa “dunia” itu sendiri sebagai penyokongnya. Sudah menjadi hukum alam, di mana ada cahaya, di situ pula ada bayang-bayang. Di sana pula ada dunia-dunia yang jumlahnya banyak dan bentuknya beragam. Jika benda itu kecil, bayang-bayang yang dihasilkan pun kecil; jika benda itu besar, bayang-bayang yang dihasilkan pun besar dan lebih indah (atau malah menakutkan).
![]() |
Photo by Nae Unani on Unsplash |
Dan yang terakhir adalah kata timur dan barat. Kata barat memiliki makna hari tua atau masa tua, makna yang mungkin klise bagi kalian yang menggeluti dunia perpuisian. Di mana ada masa tua, maka ada yang namanya masa kecil dan masa muda. Maka di sini aku memaknai kata timur sebagai masa kecil dan tengah hari sebagai masa muda (20–40 tahun).
Kita memulai perjalanan dari timur, matahari pun juga memulai perjalanannya dari timur, terpaan cahayanya menciptakan bayang-bayang yang berjalan di depan kita, membentang hingga ke barat. Kemudian, matahari tepat berada di atas kepala kita (masa muda), bayang-bayang tepat berada di bawah kaki kita, mudah untuk kita gapai, mudah kita sentuh. Namun, pada akhirnya itu hanyalah fana dan semu. Dan akhirnya matahari dan kita tiba di ujung jalannya, barat. Bayang-bayang yang dulu mudah kita sentuh, sekarang berada di belakang kita. Kita mungkin bisa berbalik untuk menyentuhnya. Namun, pada akhirnya kita harus terus berjalan ke barat sampai menemui kegelapan malam (kematian).
Jujur, alasan aku menyukai puisi-puisi Eyang Sapardi sejak pertama kali membacanya itu karena kesederhanaannya. Seseorang pernah berkata kepadaku, “semakin sederhana sebuah karya, semakin rumit untuk memaknainya”. Dan ini yang sering terjadi kepadaku, seringkali aku merasa bisa menemukan makna dari sebuah puisi (ataupun kehidupan). Namun, aku justru sering kali kesulitan untuk mengungkapkan rasa dan pesan kasih sayang yang disampaikan kepadaku dengan bahasa yang sederhana dan apa adanya.
Note : Tulisan ini dituliskan setahun lalu, tepatnya 21 Juli 2023, kemudian diunggah dengan sedikit revisi di Medium 16 Juli 2024 dan akhirnya diunggah kembali di sini pada tanggal 20 Maret 2025 dengan sedikit perbaikan kembali.
"Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan"
ReplyDeleteSungguh kalimat yang sangat dalam. Keren
Benar sekali, karenanya tidak salah beliau dijuluki sebagai seorang maestro, Al-Fatihah untuk Eyang Sapardi.
Delete