Pertanyaan-Pertanyaan

Setiap catatan yang diambil dari tulisan dari Medium, di thumbnail-nya akan ada logo Medium

Assalamu’alaikum minna-san, konnichiwa!  Baiklah, sebelum kalian lanjut membaca tulisan ini aku ingin memberikan sedikit catatan dan informasi, kalau tulisan ini sebenarnya sudah pernah diterbitkan sebelumnya di platform Medium milikku, jika kalian ingin membacanya kalian bisa mengunjungi di sini. M. Aan Mansyur, nama ini begitu asing pada awalnya bagiku yang kala itu baru saja coba menyeriusi dunia perpuisian. Karena ketika aku mengetikkan kata kunci “penulis puisi Indonesia”, sering kali disuguhkan dengan nama-nama yang sudah beken seperti Eyang Sapardi, Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Remy Sylado dan sejumlah nama yang sudah malang melintang lainnya. Bahkan di sosial media seperti instagram pun, kebanyakan yang aku temukan pun masih sama (aku tidak tahu apakah karena memang algoritma atau bagaimana).

Hingga pada suatu hari di pertengahan tahun 2022 aku menemukan salah satu buku beliau yang berjudul “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau”. Pada awalnya aku sedikit ragu ingin membeli buku ini. Namun, entah karena angin apa waktu itu aku mencoba mencari ulasan buku ini di internet dan menemukan fakta bahwa buku ini adalah salah satu pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa, yang akhirnya membuat keputusanku bulat untuk membeli buku ini.

Saat membaca buku ini, aku merasakan pengalaman baru yang belum pernah aku alami sebelumnya. Menurutku, buku ini unik dan sangat menawan, buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan buku puisi yang pernah kubaca sebelumnya, selain karena beberapa puisinya sangat menarik baik dari segi diksi ataupun makna juga ilustrasi dan coretan-coretan di setiap halamannya membuatku berpikir, apakah setiap coretan ini juga memiliki makna tersendiri? Salah satu puisi yang paling kusukai di buku ini berjudul “Pertanyaan-Pertanyaan”. Berikut adalah puisinya:

Pertanyaan-Pertanyaan
Oleh : M. Aan Mansyur

apakah hatiku mangkuk dangkal yang pecah - 
yang alangkah mudah diisi, namun mustahil

penuh? apakah mencintai diri sendiri berarti
menjadi batu yang dilemparkan ke lautan lepas

tanpa dasar? mengapa darah lebih api daripada api?
mengapa luka tidak memaafkan pisau - & mata

pisau bisa membayangkan dirinya sebagai cermin?
mengapa kita mesti memiliki banyak pengetahuan

untuk bisa memahami betapa sedikit pengetahuan
kita? mengapa orang kota bersandar pada humor

untuk bisa bertahan hidup & mengapa orang desa
harus bertahan hidup untuk bisa tertawa? mengapa

usia seseorang tidak dihitung dari seberapa dekat
dia dari kematian? bukankah manusia sudah terlalu

tua sekarang? (seperti puisi ini, tidakkah hidupmu
sudah dituliskan - & ditafsirkan orang lain, bahkan

sebelum kamu bisa membacanya?)

Bagaimana? apakah kalian juga merasakan suatu sensasi lain ketika membaca puisi ini? Jika iya, berarti aku tidak salah jika tadi kubilang kalau buku ini unik dan menawan. Ketika aku membaca puisi ini untuk pertama kalinya, aku tergugah, aku takjub,dan terperangah (agak sedikit berlebihan tapi biarkanlah) akan keindahan M. Aan Mansyur dalam meramu dan mengolah kata-kata. Bagiku, puisi ini membuka pandangan baru dan menginspirasiku untuk menulis puisi yang memiliki format atau konsep yang sama.

Di sini aku mencoba untuk menerka apa yang dituturkan oleh sang penulis dalam puisi ini, dan makna dan arti yang kutangkap dalam puisi ini bisa saja berbeda-beda di setiap kepala yang membaca puisinya. Jadi jangan dijadikan patokan, jangan dijadikan rujukan, karena pada hakikatnya puisi memang sebuah tulisan yang memiliki banyak makna, jadi kalian bebas memaknainya masing-masing. Juga biasanya pemaknaan puisi tergantung siapa yang membacanya, di mana membacanya, bagaimana perasaan dan keadaan pembacanya, kapan membacanya dan mengapa kalian membacanya? So, gak perlu panjang kali lebar kali tinggi. Berikut adalah bait pertama dari puisi ini yang berbunyi;

apakah hatiku mangkuk dangkal yang pecah - 
yang alangkah mudah diisi, namun mustahil

Bait ini menurutku memiliki makna kalau sang penulis mencoba untuk mempertanyakan apakah hatinya cepat dan mudah merasa puas. Namun, juga cepat sekali merasa tidak terpuaskan. Kata dangkal ini menggambarkan bahwa hatinya sangat kecil untuk menampung sesuatu sehingga ketika dia dipuji atau diuji dengan kesenangan dia akan cepat terisi penuh selayaknya sebuah mangkuk kecil yang memiliki lubang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, cepat terisi namun cepat juga terkuras. 

penuh? apakah mencintai diri sendiri berarti
menjadi batu yang dilemparkan ke lautan lepas

Bait kedua ini berkesinambungan dengan bait pertama. Pada puisi ini, semua bait saling bersinkronasi dengan bait sebelumnya, ini juga yang membuatku takjub dengan puisi ini. Masih sama, masih soal mempertanyakan tentang hatinya. Namun, kali ini diperkuat dengan pertanyaan tentang mencintai diri sendiri. Maksud dari batu yang dilemparkan ke lautan lepas di sini singkatnya seperti ini, apakah kamu pernah melempar batu ke lautan atau mungkin sungai? Jika iya, apa yang terjadi dengan batu tersebut? Tenggelam. Yap, menurutku bait ini ditambah dengan awal pada bait ketiga mencoba mempertanyakan apakah mencintai diri sendiri itu seperti batu yang pasrah dilemparkan ke lautan lepas tanpa dasar dan hanya bisa berpasrah mengikut ombak dan alurnya? Yang dalam hal ini mungkin saja lautan lepas ini bisa saja diartikan sebagai kehidupan luar.

tanpa dasar? mengapa darah lebih api daripada api?
mengapa luka tidak memaafkan pisau - & mata

Bait ketiga ini merupakan salah satu bait yang paling magis menurutku selain tentunya bait terakhir nanti. Di bait ini pula juga judul buku ini tercipta. “Mengapa luka tidak memaafkan pisau?”. Sebelum ke sana, akan lebih mudah memahaminya jika kita mencoba untuk memaknai baris pertamanya dahulu. “Mengapa darah lebih api daripada api”, ada dua api di sini dan keduanya memiliki arti yang berbeda. Api pertama menurutku diartikan sebagai rasa panas, yang mana rasa panas dari api ini memiliki makna yang selaras dengan rasa sakit atau rasa perih (jika tubuh terkena api). Sedangkan untuk kata api kedua memiliki arti amarah atau mungkin rasa iri atau dengki (dst. kata yang sejenis dengan ini). Dan darah menurutku memiliki arti luka. Jadi singkatnya, baris pertama mencoba mempertanyakan, mengapa luka ini lebih panas/sakit dari amarah (atau sakit itu sendiri, arti yang ini jika kedua api memiliki arti yang sama).

Untuk baris selanjutnya, penulis coba mempertegas pertanyaan sebelumnya tentang luka dan rasa sakit. Mengapa (orang ter-)luka tidak memaafkan pisau (yang menimbulkan rasa sakit).

pisau bisa membayangkan dirinya sebagai cermin?
mengapa kita mesti memiliki banyak pengetahuan

untuk bisa memahami betapa sedikit pengetahuan
kita? mengapa orang kota bersandar pada humor

untuk bisa bertahan hidup & mengapa orang desa
harus bertahan hidup untuk bisa tertawa? mengapa

usia seseorang tidak dihitung dari seberapa dekat
dia dari kematian? bukankah manusia sudah terlalu

Baris pertama penulis mencoba mempertanyakan tentang si pelaku, si pembuat luka yaitu mata pisau. Di sini penulis mencoba mempertanyakan mengapa mata pisau atau yang membuat luka bisa membayangkan dirinya sebagai cermin (refleksi, singkatnya sebagai contoh untuk orang lain ketika melihat dia membuat luka). Dan untuk baris-baris selanjutnya merupakan bagian yang sangat unik. Pertanyaan ironi yang membuatku jadi bertanya-tanya juga kepada diri sendiri, “kenapa kita harus pintar dahulu untuk mengetahui seberapa bodoh dan terbatasnya kita?”, “mengapa orang-orang kota (kaya) harus tertawa (bahagia) agar bisa terus hidup, sedangkan orang desa harus bertahan hidup agar bisa tertawa (bahagia)?” dan “mengapa usia kita tidak dihitung dari seberapa dekat dia dengan kematian?”. Untuk pertanyaan terakhir mungkin aku (mungkin) bisa menjawabnya seperti ini , yah karena kita tidak pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Seandainya tahu mungkin dunia ini isinya akan diisi oleh orang yang berleha hampir setiap hari karena tahu lama akan mati dan orang yang beribadah hampir setiap hari karena hal yang sama. Dan mungkin dunia akan kacau karena tahu seseorang tidak akan mati, jadi dia akan mencoba merampok bang dan dengan pedenya peluru polisi tidak akan mengenainya hahaha. Keempat bait ini benar-benar membangkit jiwa overthinking dan imajinasi seseorang sepertiku dan aku sangat suka itu.

tua sekarang? (seperti puisi ini, tidakkah hidupmu
sudah dituliskan - & ditafsirkan orang lain, bahkan

sebelum kamu bisa membacanya?)

Dan kita sampai di dua bait terakhir yang menurutku merupakan bait paling magis dan membuatku berpikir liar ke mana-mana. “Seperti puisi ini, tidakkah hidupmu sudah dituliskan — & ditafsirkan orang lain, bahkan sebelum kamu bisa membacanya?”. Alasan mengapa bait ini paling magis karena menurutku sang penulis mencoba untuk menyamakan kehidupan kita layaknya sebuah puisi. Kehidupan (takdir) dalam pengertian kepercayaan Islam merupakan sesuatu yang mungkin sama seperti puisi, keduanya sama-sama dituliskan, keduanya juga memiliki rasa dalam setiap bait, baris dan momennya. Rasa senang, sedih, asam, pahit dan lain sebagainya yang mungkin sudah dituliskan/ditentukan sebelum kita bisa membacanya, menebak, menerka, menghadapi atau menghindarinya).

Sebagai contoh mudahnya, seperti kehidupan kita yang sudah ditentukan sedari awal (sebelum kita membacanya) oleh Tuhan. Lalu alur hidup kita mungkin saja sudah ditentukan atau diperkirakan oleh orang tua kita sedari kita kecil sebelum kita mengerti dan melaluinya, kita sekolah di tempat A-B-C lalu minat kita A-B-C, siapa yang tahu orang tua kita sudah menerka (menafsirkan) itu ketika melihat kita melakukan sesuatu yang menurut mereka itu bakat kita sewaktu kita kecil.

Puisi ini adalah sesuatu bagiku, puisi benar-benar merubah hidup dan gayaku berpuisiku, puisi ini benar-benar berhasil memantik overthinking-ku untuk disadurkan menjadi sebuah tulisan-tulisan (yang mungkin akan kucoba kuunggah ke sini suatu hari nanti). Dan setiap kali aku membaca puisi ini, aku merasa tidak pernah puas dan selalu menemukan makna baru di dalamnya (terlepas dari puisi lain di buku ini yang juga sama baiknya dengan puisi ini). Mungkinkah ini yang dimaksud mangkuk dangkal yang berlubang? Setiap kali aku membaca puisi ini (atau lainnya), aku merasa terpuaskan. Namun, di sisi lain aku selalu juga tidak pernah puas untuk menggali lebih dalam lagi makna puisi ini dan puisi lainnya.

Akhirul kata, aku mohon maaf jika ada salah kata, jika kalian ada pendapat dan interpretasi sendiri terhadap puisi ini kalian bisa menyampaikannya di kolom komentar, akhirul kata wassalamu'alaikum dan salam literasi ^^


Sudah lama nggak pakai gif ini sebagai penutup, see yaaa~


Comments

  1. Judulnya saja sudah sangat dalam ya.. mengapa luka tidak memaafkan pisau. Luar biasa frasanya

    ReplyDelete

Post a Comment

Komen aja, saya gak gigit kok :3